MENUJU SUKSES DI SUKABUMI
maaf, kami tidak menerima orang yang tidak berpendidikan!"
Lelaki berkumis tipis segera melangkah gontai ketika kalimat pedih tadi sampai ditelinganya. Dengan perasaan hancur ia melewati gedung pencakar langit di kota sukabumi.
'Ah, seperti apakah orang yang berpendidikan seperti itu? Apakah harus sekolah dulu agar seseorang dikatakan berpendidikan? Batin pria berusia 22 tahun itu sembari terus melangkah.
Terik mentari sudah semakin menyengat. Pria bernama lengkap Deli pratama itu mulai letih, kemudian singgah sejenak disuatu warung untuk membeli segelas teh manis.
"Es teh satu manisnya dong, bu." Ujar Deli, lalu tertuduk melepaskan rasa lelahnya pada bangku yang disediakan.
Ya. Hidup tidak melulu tentang cinta dan hubungan romansa. Ribuan bahkan jutaan sibuk dengan masalah cinta dan romansa mereka. Namun, tidak dengan Deli. Hanya demi mendapatkan pekerjaan tetap, ia dengan ikhlas berpanas-panas, berkeliling dikota besar ini. Meski sudah puluhan kali ditolak mentah-mentah, atau ratusan kali mendapatkan hinaan yang begitu telak memukul relung dihatinya. Ia tak gentar sedikitpun.
'Ini adalah hidup! Hidup adalah sesuatu yang mutlak yang harus diperjuangkan!'
Seperti itulah prinsip hidupnya. Namun, sudah sekian kali ini ia dipermainkan oleh hidupnya sendiri.
Orang-orang besar berwibawa itu selalu mengaitkan pekerjaan dengan dasar pendidikan mereka, tetapi selalu lupa dengan keahlian masing-masing individu. Toh, tidak sekolah juga bukan kemauan pria kumis itu. Tetapi keadaan dan takdir tuhan sudah berkata demikian, maka ia tak bisa berbuat apa-apa.
"Silahkan, es tehnya." Bibi gemuk pemilik warung segera meletakkan segelas es teh manis segar. Deli sedang terbuai akan lamunannya, segera terseret seketika. Kembali ke dunia nyata.
"Terima kasih, Bu." Ucap Deli sembali memahat senyum tipis.
"Ah, segar sudah!"
"Ini rapih-rapih kerja dimana, mas? Tanya ibu pemilik warung bernama Siti maimunah kepada Deli.
"Tidak kerja dimana-mana, Bu. Saya malah sedang melamar pekerjaan," jawab pria berkumis tipis itu seraya menatap gelas kosong pada gelas yang tadinya berisi es teh manis.
"Terus bagaimana? Apakah diterima?" Bu Maimunah mulai menyelidiki.
"Tidak, Bu." Andi menghela napas lelah. Namun semburat senyum masih tergores tipis diwajahnya.
"Loh! Kenapa bisa begitu?" Bu Maimunah mulai seru.
"Yah, tidak heran sih, Bu. Saya memang sudah beberapa kali ditolak oleh bermacam-macam perusahaan karena saya tidak memiliki dasar pendidikan alias tidak pernah bersekolah."
"Jadi, begitu. Kalau menurut saya pribadi, sekolah itu tidak menjamin seorang mendapatkan pekerjaan. Contohnya, anak saya, dia adalah sarjana. Ya, walaupun tidak dapat gelar S1, sih, tapi setidaknya dia punya pendidikan. Pada akhirnya cuma mentok jadi security," ungkap bu maimunah. Sembari mengibas-ngibaskan tangan tangan karena cuaca yang begitu panas.
"Yah, saya juga berpikir sepeti itu, Bu. Meskipun saya tidak pernah bersekolah, tapi saya bisa membaca dan menulis. Bahkan, saya juga bisa menggunakan komputer seperti orang-orang kantornya." Deli menghela napas. "Tetapi, ini adalah yang menjadi masalahnya sekarang, Bu. Para pemimpin-pemimpin perusahaan besar itu selalu melihat secarik kertas pada tolak ukurnya. Padahal, kalau dites, saya akan senang hati menunjukkan keahlian saya." Lanjut pria berkumis itu, mengungkapkan pendapat terpendamnya.
Apa yang diungkapkan Deli memang masuk akal. Setiap orang selalu menjadikan sekumpulan angka-angka itu sebagai tolak ukur dunia kerja. Akan tetapi, mereka lupa bahwa kemampuan setiap orang berbeda-beda. Namun, inilah sebuah aturan. Setiap perkara harus memiliki aturan untuk dapat berjalan dengan baik. Meskipun yang baik terkadang menjadi yang terburuk, dan yang buruk bisa menjadi yang terbaik. Ini hanyalah masalah sudut pandang.
Meski begitu, Deli, lelaki berkumis itu tidak pernah menyalahkan siapapun. Sesusah apa pun dirinya. Ia selalu bersyukur dan tak pernah lupa untuk mengucapkan "Alhamdulillah" kepada yang kuasa. Ia sadar bahwa apapun yang ia jalani adalah semata-mata karena kehendak Tuhan. Seperti air yang mengalir, entah sampai kapan ia menemukan muaranya, kemudian hidup selayaknya-layaknya.
Hari sudah mulai gelap, lelaki berna Deli itu masih tetap berjalan terlunta-lunta. Sesekali tunduk menatap langkah kakinya yang gontai. 'apakah saya sudah salah melangkah?' tanyanya pada diri sendiri.
Setibanya ia berada pada rumah kumuh, yang terlihat biasa-biasa saja itu, ia segera mengepaskan tubuhnya yang letih Pada lantai semen, tanpa beralaskan tikar. Ia menghela napas pasrah. Kedua matanya tersorot pada langit-langit rumahnya yang bolong.
"Oh, Tuhan berikanlah hambamu ini jalan terbaik."
"oh, tuhan entah sampai kapan hambah bisa bertahan dari pedihnya hidup."
"Oh, tuhan, masih adakah secercah harapan untukku."
Kemudian, ia memenjamkan kedua matanya, dan terlelap sampai malam tiba.
Keesokan harinya lagi, lelaki berkumis itu sudah siap berkeliling dikota seperti apa yang ia lakukan ya setiap hari. Tentu saja, untuk melamar pekerjaan. Dengan kemeja berlengan panjang berwarna putih, dan dasi yang melilit dilehernya, ia berjalan penuh semangat, seakan kepedihan dihari kemarin sudah terkubur jauh dalam memorinya. Meski tanpa membawa berkas-berkas apapun, tetapi ia yakin Tuhan selalu adil.
"Secarik kertas bukan penentu masa depanku." Pikirnya.
Disebuah persimpangan jalan, Deli berdiri tegap, menunggu ujung lalu lalang nya kendaraan-kendaraan yang melintas. Seperti biasanya dijalan menuju pusat kota. Jalan ini selalu ramai setiap hari. Maka dari itu, mungkin akan sangat membutuhkan waktu untuk dapat menyebrangi jalan.
Tak lama kemudian, seorang anak kecil tiba-tiba menyerobot posisinya untuk menyebrang jalan. Tanpa memperhatikan sekitar, bocah yang tampaknya masih duduk disekolah dasar itu berdiri ketengah jalan. Namun, sayang sebuah sedan putih melintas dengan kecepatan tinggi dari arah timur. Begitu sadar, Deli dengan cepat menyusul bocah SD, kemudian mendorongnya dengan keras sampai akhirnya tersungkur ketepi jalan.
Pengorbanan Deli mang tak sia-sia, tetapi akibatnya mobil berhasil menabraknya, sehingga semua yang dilihatnya menjadi hitam pekat. Tanpa adanya cahaya, setiap tatapannya kosong dan gelap. Ia tak berdaya, lalu tertelan ketidaksadaran.
"Cepat bawa dia ke UGD! Cepat! dia butuh pertolongan!!" Pekik seorang wanita tua. Pentingnya kerut penuh keemasan. Ia membekap mulutnya hingga menestakan air mata.
"Tuhan, masih adakah cahaya untukku?"
"Tuhan, masih adakah secercah harapan untukku?"
"Tuhan! Masih adakah rasa iba hamba-hambamu untukku?"
Sebulan seudah lelaki berkumis bernama Deli pratama tersebut koma dirumah sakit akibat tragedi waktu itu. Deli merupakan lelaki kesepian. Artinya, ia hidup sebatang kara tanpa kedua orang tuanya disisinya. Tidak mungkin ia lebih pantas disebut yatim piatu. Sudah 10 tahun lalu kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan.
Seorang wanita tua berwajah sendu berging disamping ranjang ruang rawat inap bernama Deli. Jika ia hidup sebatang kara, lalu siapakah gerangan wanita tua itu? Kenyataannya, wanita berambut putih itu telah rela mengorbankan setiap waktunya hanya untuk membesuk Deli.
Hening yang terdengar hanya suara elektrokardigram alat untuk mendeteksi detak jantung pasien. Namun, setelah beberapa menit berlalu, suara erangan samar-samar terlontar dari mulut Deli. Wanita tua itu sedikit terkejut, panik, dan memekik berulang kali sang dokter.
"Dok, bagaimana keadaan anak ini?" Tanya wanita, masih kerutan didahi cemas.
" Dia baik-baik saja. Tidak akan lama, sepertinya dia akan sadar." Jawab sang dokter penuh keyakinan.
Benar yang dikatakan sang dokter. Lelaki baik itu membuka mata untuk pertama kalinya, Setelah dalam sebulan penuh tidak sadarkan diri. Ia mulai berusaha mengerakkan tubuhnya. Tatap matanya penuh rasa ingin tahu. Sementara, wanita tua itu mengelus dada, seakan keresahannya selama ini telah binasa tak tersisa, ia tersenyum.
"S-saya...dimana? S-saya kenapa?"
Adalah hal yang biasa jika pertanyaan itu terlontar dari mulut Deli dengan lembut, wanita tua itu menjawab, " kamu ada dirumah sakit, Nak, sebulan yang lalu kamu terlibat kecelakaan."
Si wanita tua kemudian terduduk kembali. Menghela nafas, tampak seperti mempersiapkan diri.
"Saya minta maaf," ucap wanita tua itu dengan rilih.
"K-kenapa?"
"Kamu kecelakaan karena menyelamatkan cucu saya, saya mohon maaf." Ucapnya lagi. Setitik air mata telah menggantung di maniknya.
"Tidak apa-apa, saya ikhlas dengan bermaksud menolong." Deli menghela nafas, masih begitu berat. "Saya juga tidak mengerti. Tubuh saya tiba-tiba bergerak ingin menolong anak itu."
"Hatimu sangat mulia. Nak, Sekali lagi, maafkan saya. Sebagai rasa terima kasih saya, kamu bisa minta apa pun dari saya."
"Tidak perlu dipikirkan. Mengetahui sayaasih hidup saja. Sudah membuat hidup saya bahagia, Bu." Deli benar-benar tulus mengucapkan kalimat tersebut. Bahkan ia menampilkan senyum syukurnya.
"Terimakasih, Nak." Wanita tua itu tersenyum haru.
"Bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan saya?"
"Bagaimana anda bisa tahu kalau."
"Saya sudah mencari tahu tentang mu. Nak, orang-orang dikampungmu menuturi saya. Hati saya sangat tersentuh atas tekadmu Yang tidak pernah menyerah itu. Karena itu, sebagai permohonan minta maaf saya, dan juga terima kasih saya, apa kamu mau bekerja di perusahaan saya?"
"T-tapi...saya tidak mau anda pekerjakan jika hanya karena rasa kasihan saya."
"Lalu, saya harus bagaimana. Nak."
"saya ingin menunjukkan kepada Anda keahlian saya. Saya ingin diterima sesuai keahlian saya. Saya ingin hanya membuktikan diri saya sendiri bahwa saya mampu." Jelas Deli. Meskipun rasa sakit ia derita, tetapi kini ia dipenuhi bara api Yang berkobar memenuhi jiwanya.
Beberapa Minggu telah berlalu, Deli si lelaki kurus berkumis tipis, ia kini bekerja disebuah perusahaan besar milik wanita bernama Octa. Deli diangkat sebagai bendahara perusahaan karena dipercaya memiliki hati yang mulia. Memang ia tak dipungkiri ia tidak pernah bersekolah, Tetapi ia merupakan lelaki pintar yang Semasa hidupnya digunakan belajar dan belajar seorang diri. Karena itu, Octa memberikan tanggung jawab besar kepadanya.
Biarpun begitu, ia masih yakin cobaan tuhan tidak selalu yang buruk-buruk. Yang nikmat-nikmat justru adalah ujian besar dari Tuhan yang maha kuasa. Kini, Deli telah mendapatkan hidup sepantasnya. Ia berhak mendapatkan hidup layak Ini, sebab tidak sedikit pengorbanan yang telah ia lakukan. Dengan bekal keteguhan hati, ia bisa bertahan hidup didunia ini.
Komentar