selamat tinggal pacarku



 Malam ini, untuk kesekian kali aku kembali melihatnya. Kekasihku, dia bersama dengan wanita lain. Dari kejauhan. Aku melihat mereka sedang berciuman begitu mesra.
     
        Sakit sekali rasanya.

Sudah lebih dari seminggu terakhir sikapnya berubah drastis. Dia memang masih mengangapku sebagai kekasihnya. Tapi keberadaan ku disisinya seolah sama sekali tidak berarti apa pun.

Ini sudah bukan pertama kali lagi aku melihatnya begitu. Sudah beberapa kali aku melihatnya bergunta-ganti wanita. Sekarang dia lebih pantas disebut sebagai playboy. Dia juga sering menghabiskan waktu di klub malam. Dan mabuk-mabukan.

Bukan hanya dibelakang ku, dia bahkan bermesra-mesra bersama wanita-wanitanya. Saat kami sedang menghabiskan waktu bersama. padahal sebenarnya dia tidak begitu. Dia tidak pernah menyakiti perasaanku dan dia selalu bersikap baik.

Sebenarnya apa salahku? Padahal aku sudah banyak mengorbankan banyak hal untuknya. Aku benar-benar tidak mengerti apa kesalahanku sampai dia tega memperlakukan seperti ini. Aku selalu berusaha bersikap sesempurna mungkin dihadapannya dan tidak pernah berhenti untuk menjadi kekasih terbaik seperti yang dia inginkan selama ini.

Setelah dia melakukan ciuman mesra itu, dia menoleh dan menatap kearahku. Tanpa rasa bersalah  sedikitpun dia tersenyum lebar dan melambaikan tangan kepadaku.

Aku hanya diam mematung, rasa sakit didalam hati yang semakin dalam, membuatku sulit sekali untuk tersenyum. Meski begitu, aku memberikan senyuman tipis, berusaha terlihat baik-baik saja didepan di depannya.

Pria tampan itu kembali menatap wanita dihadapannya, mengkin hendak memohon pamit.

Benar saja, dia hendak menghampiriku setelah wanita itu pergi. Seketika aku menghapus air mata yang mulai menetes, dia tidak boleh melihatku begini. Aku memberikan senyuman tipis kepadanya.

"Hai, sayang aku merindukanmu." Dia kemudian memelukku erat.

Aku merasakan dekapan hangatnya, masih sama seperti dulu. Tapi karena perubahan sikapnya akhir-akhir ini, pelukannya ini menjadi terasa hampa.

"Aku membawakan makanan kesukaanmu," sahutku pelat sesaat setelah dia melepaskan pelukan sepeihaknya, aku kemudian menyodorkan sebuah bingkisan.

"Terimakasih, ya, kau baik sekali, ayo masuk, udara malam tidak bagus untuk perempuan secantik dirimu." Dia merangkul pinggangku, mengajak masuk kedalam rumah besarnya.

Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Sebenarnya apa alasannya? Kenapa dia jadi pemain wanita dan menyakiti hatiku begini?

Ditengah langkah, aku menyempatkan diri untuk menatapnya. Apa sebenarnya kesalahanku? Sayangnya aku tidak punya keberanian untuk menanyakan apa pun padanya.

Saat ini kami sedang duduk berhadapan di ruang makan. Dia mengajakku malam bersama. Aku masih cukup menikmati saat-saat seperti ini, sepintas hubungan kami terlihat baik-baik saja. Dia menyuapi dan aku juga menyuapinya, Kami bercanda dan tertawa bersama seolah seperti tak pernah terjadi apa pun.

Dia kemudian menuangkan sebotol anggur berkadar alkohol rendah kedalam gelas kami, lalu minum bersama dan kembali menikmati indahnya malam. Tapi kesadaran mulai menurun hanya karena beberapa gelas Saja. Berbeda dengannya, dia terlihat baik-baik saja meskip sudah meminum setengah botol.

Dia mulai berkata kata untuk mulai menggoda, merayuku dengan rayuan gombalnya. Ya, mungkin karena aku yang terlalu bodo. Aku tidak pernah bisa menghindari tatapan matanya yang indah.wajahnya yang tampan selalu memabukkan pandaganku dan kata-kata gombalnya itu juga selalu berhasil membuatku terbuai.

Hingga akhirnya, dia menggendong tubuhku dan membawaku ke ruang kamar. Aku tahu, bahkan sekalipun hanya setengah sadar, aku sangat tahu apa yang akan dia lakukan. Tapi aku membiarkannya, aku tidak peduli meski dia sudah berada di atas  tubuhku, menyangga tubuh kekarnya elegan kedua  tangan  disisi kanan dan kiri Kepalaku.

Dia mengecup bibirku singkat dan tanganya juga mulai membuka kancing bajuku. Tapi, aksinya itu segera terhenti saat berada dikancing ketiga.

"Kau tahu apa yang akan aku lakukan"? Katanya setengah berbisik.

"Iya" sahutku singkat, mata kami saling bersinggungan.

"Lalu kenapa kau diam saja? Kau tidak marah kalau aku melakukannya?"

"Lakukan saja apa yang kau mau." Kataku datar. Aku memang sengaja membiarkannya melakukan apa yang dia inginkan. Mungkin, dengan begitu rasa cintanya padaku akan kembali seperti dulu bahkan lebih besar dari sebelumnya.

Tapi....

"Kau bodoh!" Dia kemudian bangkit kembali berdiri. "Apa kau sudah tidak waras, hah?" Nada bicaranya berubah tinggi.

Aku beringsut dan duduk di sis ranjang. "Apa maksudmu? Kenapa kau bicara begitu?" Aku masih bertahan dengan nada datarku.

"Haaaaahhh!" Pria itu berteriak keras, tampak frustasi. Dia menggila, menyeret semua benda yang ada diatas meja dekat sofa. Membuat semua benda itu jatuh berserakan di lantai.

Aku terkejut bukan main. Aku berteriak ketakutan melihatnya mengamuk seperti itu. Apalagi saat sebuah pecahan kaca vas bunga hampir saja mengenai kakiku.

Ada apa lagi dengannya? Apa yang membuatnya marah? Bukankah dia seharusnya senang karena aku dengan suka rela memberikan tubuhku padanya?

"Kau benar-benar membuat ku gila!" teriaknya lagi.
"Ada apa? Kenapa?" Tanyaku pelan. Tak mengerti.

Dia berjalan mondar-mandir kesana kemari demi merendam emosi. "Lebih baik betulkan kancing bajumu sekarang! Aku akan mengantarmu pulang!" Dia berkata ketua, hendak berjalan pergi.

"Jelaskan padaku ada apa sebenarnya?" Aku setengah berteriak untuk menghentikan langkahnya.

Dia menoleh dan menatapku dan tatapan yang tak biasa, dia terlihat begitu kesal padaku. "Jangan bertanya apa pun lagi. Aku tunggu diluar." Pria itu pun akhirnya pun pergi meninggalkanku di ruang kamar.

Mobil sport berwarna putih itu berhenti tepat dihalaman rumahku. Dia keluar terlebih dahulu. Lalu membukakan pintu untukku.

"Cepatlah masuk kedalam rumah," Katanya sambil menutup pintu mobilnya sesaat setelah aku keluar.

Aku tak menyahut perkataannya, dan hanya melakukan apa yang dia katakan. Aku berjalan menuju pintu rumahku.

"Putri," tapi panggilannya membuat langkahku terhenti diteras rumah. Aku membalikan badan dan mendapatinya sedang berjalan mendekat saat aku mulai menatapnya.

Kedua mata kami saling menatap. Wajah rupawannya tiba-tiba berubah kelam dan tatapannya juga terlihat sendu tidak seperti sebelumnya.

Ada apa lagi? Kenapa dia berubah seperti itu?
"Katakan sesuatu, gara jangan terus menatapku seperti itu," kataku.

Sejenak suasana menjadi hening, dia hanya menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Sekarang aku bisa melihat luka yang begitu dalam di matamu. Dan aku tahu bagaimana kerasnya kau mencoba untuk selalu bertahan di sisiku." Dia mulai bicara.

"Kenapa kau bicara begitu?"
"Aku minta maaf, tapi aku tak bisa berpura-pura lagi."
"Apa maksudmu? berpura-pura untuk apa?"

"Aku tidak bisa seperti dulu lagi. Aku tidak bisa menciumi atau memeluk mu lagi seperti dulu. Aku tidak akan membuatmu semakin terluka karena aka."

"Gara!" Aku kesal dan setengah berteriak untuk omong kosongnya itu.

"Sudah kubilang, aku tidak berpura-pura lagi. Karena sampai kapanpun, aku tidak bisa mencintaimu, putri."

Aku benar-benar tidak bisa menahan rasa sakit itu lagi. Mataku memanas dan seketika menampung air. "Jadi, maksudmu selama ini kau hanya berpura-pura mencintaiku, begitu?"

"Maaf." Katanya pelan, dia langsung memalingkan wajah.

"Jangan meminta maaf?" Aku tidak mendengar kata itu darimu?

"Aku benar-benar minta maaf." Meski kularang dia mengatakannya.

Aku benar-benar kecewa padanya. Setelah sekian lama kami menjalin hubungan, setelah semua pengorbanan yang aku berikan padanya, kini rasa sakit dan luka yang dia torehkan padaku. Air mataku menjadi semakin deras membasahi kedua pipi.

"Apa kau tidak mengerti aku sedikit saja! Aku tidak peduli, apa pun yang akan kau katakan dan apa pun yang akan kau lakukan padaku. Aku akan tetap menerimanya, seharusnya kau tahu betapa aku mencintaimu." Suaraku mulai parau, terisak dan benar-benar terluka.

"Sekalipun kau memohon, aku tidak akan merubah keputusanku."

"Jadi, inilah sebabnya? Apakah itu alasanmu melakukan seperti ini, karena kau tidak pernah mencintaiku?"

"Iya, dan sekarang aku ingin mengakhiri sekarang juga."
"Aku mohon jangan katakan itu." Kataku lirih.

Aku benar-benar tidak menyangka. Akhirnya hari seperti ini, hari yang paling aku takuti akhirnya datang. Air mataku tak bisa berhenti. Mengalir dengan begitu deras sekalipun aku terus menyengkapnya. Kata-kata Barusan membuat ku tersadar kalau hubungan yang selam ini sangat kujaga, hubungan cinta sepihak yang selalu ku pertahankan akhirnya berakhir.

Inilah ujungnya. Ini akhir dari pengorbananku, membuatku harus sadar bahwa tak ada hari esok lagi untuk kami.

"Aku tidak butuh kejujuranmu. Gara, tetaplah disisiku. Tak ada seorangpun yang mengetahuiku kecuali dirimu. Kau sudah menjadi orang terpenting dalam hidupku." Sambil terisak-isak aku memohon.

"tapi aku tidak bisa mencintaimu."

"Hentikan omong kosong mu itu! Beritahu aku kemana aku harus pergi?! Kau adalah rumahku, kau adalah segalanya bagiku! Seharusnya kau tahu bagaimana aku memperlakukanmu selama ini?"

"Iya, aku sangat berterima kasih karena kau sudah memberikan segalanya, tapi aku tidak bisa merubah keputusanku. Aku tidak mau menjalani sebuah hubungan tanpa cinta, dan terlebih lagi, aku tidak ingin menyakiti mu lagi."

"Kau tidak perlu mencintaiku. Kau hanya perlu mengerti dan memahami saja. Karena aku lah yang selalu mencintaimu."

"Aku tidak bisa melakukannya. Aku akan jadi pria yang kejam jika aku harus melakukan itu."

"Gara..."
"Cukup, putri." Dia tidak bisa memberikan aku untuk bicara lagi. Perlahan kedua tangannya terulur dan membasahi air mata yang membasahi kedua pipiku. "Kau harus mendapatkan pria lain yang lebih baik dariku. Carilah pria yang benar-benar tulus mencintaimu. Kau harus bahagia."

Aku terus terisak. Ini sangat menyakitkan untukku. Aku sangat menepis kedua tangan besarnya dari pipiku. "Kalau begitu jangan buat aku salah paham lagi, kalau kau memange mencintaiku, jangan memberi perhatian seperti ini."

"Iya aku minta maaf untukitu."

"Aku tahu, tak ada lagi esok untuk kita. Dan aku mau kau memenuhi permintaan terakhir ku."

"Katakan saja."

Aku kembali mentapnya sedih, memandang wajah tampan dihadapanku. Apakah aku bisa melupakannya? Apa aku bisa menemui pria yang lebih baik darinya?

Tapi ini adalah malam terakhir bersamanya.

"Bisakah kau memelukku, gara? Sekali saja, bisakah kau mengangapku sebagai kekasihmu untuk pertama dan terakhirnya?"

Sejenak, Dia menatapku. Tanpa berkata-kata apa lagi, dia kemudian memelukku, merengkuhku kedalam dekapan hangatnya. Aku berusaha untuk tidak menangis. Tapi tetap saja, butiran bening itu selalu menetes dari ujung mataku.

Hingga akhirnya, dia mengakhiri pelukannya dan kembali menatapku. "Selamat tinggal. Putri." Aku melihat senyuman indah itu untuk terakhir kalinya.

Dia berbalik badan dan menuju Mobil. Sedangkan aku hanya bisa menangis menatap kepergiannya. Ini adalah pelajaran bagiku dalam hal cinta, sekalipun aku kecewa, marah, tidak terima dan juga sedih, aku akan berusaha untuk melepaskannya. Aku tidak ingin egois dan bersikap kejam kepadanya. Aku tidak akan membuat dia terbelenggu disisiku, aku hanya ingin dia bahagia, karena aku sangat mencintainya.





Komentar

Postingan Populer