narasi sufi pangeran diapanegarara
Di sebuah hari yang murung, 29 Juli 1825, sekelompok serdadu dibawah pimpinan chevallier mengepung sebuah rumah di Tegalrejo. Pengikut Danurejo IV juga ikut merangsek untuk menyerbu kediaman pangeran Dipanegara. Hari itu bersejarah, senyum meriam dan bunyi letusan senapan menjadi saksi perlawanan Dipanegara selama lima tahun, menandai awal perang jawa (1825-1830).
Dipanegara tidak tinggal diam. Ia memilih menyingkir untuk mempersiapkan perlawanan matang dengan mengajak seluruh laskar dan pengikutnya. Ia menguatkan barisan dikawasan perbukitan selarong, dikawasan barat daya Yogyakarta. Keluarga sang pangeran diungsikan dikawasan bernama Dekso.
Rumah Dipanegara ditegalrejo dibakar amuk pengawal chevallier. Api amarah melumat rumah tempat Dipanegara menjaga keluarganya, menimang anak-anaknya. Api yang membakar rumah itu, sekaligus membakar amarah Dipanegara beserta pengikutnya untuk mengorbankan perang Jawa, perlawanan legendaris dari prajurit Jawa dan laskar santri, pada paruh pertama abad XIX. Dipanegara menjadi saksi, betapa nafsu penjajahan yang dilakukan orang-orang Belanda sudah pada titik puncak, menggulingkan kuasa-kuasa kerajaan ditanah jawa dengan menyusup pada lingkaran inti penguasa, menyuap beberapa pejabat lalu mengambil kekuasaan untuk menyedot harta rakyat-rakyat jelata.
Berita pembakaran rumah Dipanegara dan berkorbarnya perang jawa cepat melambat kawasan bagelan, pajang dan sekitarnya. Di Surakarta, beberapa ulama Bayat dan laskar santri yang dikomandoi kiai maja dan tumenggung prawidigdo bergerak untuk membantu Dipanegara. Para bangsawan Yogyakarta juga ikut merapat kemarkas perjuangan Dipanegara. Sentot prawirodirjo III, ikut dalam barisan depan.
Perang yang dilancarkan Dipanegara menggunakan strategi perang "dhemitan" alias "gebag ancat nrabas gelas." Yakni, strategi penyerbuan secara tiba-tiba dan kemudian secara cepat menghilang dibalik hutan-hutan gelap, gua, bukit, dan tempat persembunyian lainnya. Pakubuwono VI memberi saran taktik perang ini. Inilah strategi perang yang ditakuti Belanda dan pengikutnya, hingga menelan banyak korban dan kerugian yang yang nyaris menjadikan pemerintah Hindia Belanda jadi bangkrut.
Melihat tren kemenangan yang didapat pasukan dan pengikut Dipanegara, jendral De Kick tidak tinggal diam. Ia melancarkan diplomasi pecah belah dan mengandu domba. De Kock dengan licik berhasil menipu daya sunan pakubuwono VI, Mangkunegara II, paku alam I dan beberapa tokoh kunci kerajaan untuk membantu Belanda. Perang Dipanegara berlangsung lima tahun, termasuk perang terlama di sejarah jawa. Inilah episode perang yang menandai fase sejarah dalam kolonialisme Belanda dan orang-orang eropa dinusantara. Serta, menandai pergeseran fase kebijakan pemerintah Hindia Belanda ditanah jajahan.
Sufisme Dipanegara, tarekat laskar santri kajian perang Dipanegara menjadi perhatian beberapa peneliti, diantaranya Peter carey (1981, 2007, 2004), saleh as'ad djamhari (2004) dan beberapa sarjana yang mengulas tentang sejarah Jawa abad ke 19. Namun, yang tidak banyak diulas oleh para peneliti adalah jaringan santri yang melingkari Dipanegara. Padahal, jaringan santri ini berperan penting dalam menguatkan perjuangan Dipanegara, dengan simpul kiai-kiai sufi, yakni kiai maja, Kiai Hasan Besari, kiai Umar dan kiai Taftazani. Serta beberapa kiai lain sebagai simpul perjuangan di bagelan, Semarang, Pajang, Rajegwesi, dan daerah lainnya.
Selain itu, referensi sufisme Dipanegara juga seolah tertutup oleh narasi ksatria yang melingkupi dirinya. Kajian Peter carey (2014) hanya menyebut sayup-sayup sufisme Dipanegara, yang dipertentangkan dengan narasi ksatria sebagai pemimpin rakyat Jawa.
Lalu, bagaimana narasi sufisme pangeran Dipanegara?
Dalam kajian Martin Van Bruinessen,"tarekat dan politik" terungkap bagaimana gerakan sufisme menjadi pemantik untuk berjuang melawan kolonial. Tarekat sammaniyah dipalembang, menjadi jaringan perlawanan terhadap rezim kolonial, yang tergambar dalam perang menteng, 1819.
Tarekat sammaniyah yang berkembang dipalembang dibawa oleh murid-murid Syaikh Abdulsshamad al-Falimbani, pada akhir abad 18. Para santri Syaikh shahmad yang berguru ditanah suci, ketika melakukan perjalanan haji dan bermukim untuk memperdalam khazanah Islam. Syaikh shahmad, merupakan pengarang kitab Hidayat as-salikin karya sastra sufistik yang menjadi referensi penting dalam khazanah literasi Melayu. Karya syaikh Abdulsshamad berdasar dari kitab ihya dan bidayat Al-Hidayah karya imam Al-Ghazali.
Dalam babad Dipanegara, tercatat narasi perjuangan dan pengabdian sang pangeran untuk membebaskan rakyat Jawa dari cengkeraman penjajah. Babad Dipanegara, Dandanggula (XVI) mengisahkan :
Setewer (Utusan jendral De Kock, William stavers) kemudian pamit
Tanpa bicara apapun
Kemudian perang berlangsung kembali atas perintah jendral (de kock) tanpa pemberitahuan perang malah lebih rusuh banyak yang terbunuh lelaki perempuan meskipun anak-anak, apabila tertangkap dibunuh sehingga banyak yang Sahid diseluruh tanah jawa
Perjuangan Pangeran Dipanegara juga dilandasi oleh jihad sebagai perang Sabil, untuk mengusir penjajah yang dinisbatkan sebagi rezim kafir, teks ini tertuang dalam Pupuh dadanggula (XXII).
Dalam catatan sejarah, jaringan tarekat berperan penting dalam melakukan perlawanan terhadap rezim kolonial. Diantara, perlawanan dikalimantan selatan (1859-1862), haji Rifai kalisalak (1859), peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), pemberontakan petani cilegon-banten (1888), dan peristiwa Garut (1919).
Komentar